Pernahkah Anda membayangkan asal muasal madu yang Anda nikmati dari Talasi Watu Honey series? Kami ingin mengajak Anda berpetualang sedikit…menjelajah ke tempat di mana Watu Honey Bukit Tigapuluh berasal. Kita akan pergi ke Bukit Tigapuluh di Sumatera, lewat cerita dari Pak Umar dari Tim Sourcing Talasi yang beberapa waktu lalu pergi ke sana.
Halo Pak Umar! Bisa cerita sedikit tentang sumber atau origin dari Watu Honey Bukit Tigapuluh?
Watu Honey Bukit Tigapuluh adalah madu hutan yang berasal dari kawasan Bukit Tigapuluh di Jambi, Sumatera. Talasi bermitra dengan PT. Alam Bukit Tigapuluh, atau lebih akrab disebut PT. ABT, yang menjadi supplier madu kami. PT. ABT adalah perusahaan swasta nasional yang mendapat izin dari pemerintah untuk mengelola dan melindungi hampir 40.000 hektar hutan di Sumatera bagian tengah, tepatnya di Kabupaten Tebo, Jambi.
Kawasan hutan yang dikelola PT. ABT letaknya di area penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh, jadi berada di luar kawasan konservasi. Sebagai area penyangga, kawasan ini adalah pendukung kawasan konservasi dalam mempertahankan kelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati. Wilayah ini memiliki nilai penting sebagai bagian dari habitat satwa-satwa kunci Sumatera yang dilindungi.
Bagi yang belum kenal dengan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, taman nasional ini merupakan tempat terakhir bagi satwa liar yang terancam punah seperti orang utan Sumatera, harimau Sumatera, gajah Sumatera, badak Sumatera, tapir Asia, beruang madu dan berbagai spesies burung. Disamping itu, Taman Nasional Bukit Tigapuluh juga merupakan tempat tinggal masyarakat adat Orang Rimba dan Talang Mamak.
Wah, tempat yang benar-benar istimewa. Bisa ceritakan bagaimana caranya untuk sampai ke sana?
Kebetulan beberapa waktu lalu saya sempat ke sana, bahkan sampai ke lokasi panen madu dan bertemu beberapa pemanen madu hutan, yang disebut juaro. Benar-benar mengesankan.
Perjalanan ke sana ada beberapa tahap. Pertama, perjalanan udara. Penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta ke Bandara Sultan Thaha Syaifuddin di kota Jambi memakan waktu sekitar 1,5 jam. Selanjutnya, kami menempuh perjalanan darat selama 5-6 jam ke kota Muara Bungo.
Kantor PT. ABT terletak di Kota Tebo yang letaknya sekitar 4-5 jam dari Kota Jambi. Awalnya, Tim Talasi dianjurkan menginap di camp daerah operasional PT. ABT, yang dekat langsung dengan sumber pohon madu hutan. Tetapi karena jalan menjuju camp untuk sementara tidak dapat dilalui, kami menginap di kota Muara Bungo.
Selama perjalanan dari kota Jambi hingga Muara Bungo, kami sering sekali berpapasan dengan truk batu bara yang menuju dermaga untuk unloading di sana. Sedangkan dari pemandangan, yang kami lihat di sepanjang jalan, kanan dan kiri, yang terlihat adalah perkebunan kelapa sawit dan karet, baik itu milik perusahaan swasta, pemerintah, maupun milik perorangan.
Supir travel yang kami sewa bercerita bahwa petani sawit akhir-akhir ini sedang berbahagia, karena harga sawit yang naik hingga hampir mencapai 200%, sehingga banyak petani sawit yang ‘kaya mendadak’. Akibatnya, di beberapa tempat terjadi penebangan kebun karet masyarakat untuk diganti dengan kebun sawit.
Setelah menginap di Muara Bungo, kami meneruskan perjalanan ke lokasi panen madu di Bukit Tigapuluh. Kami dijemput team PT. ABT dan diajak terlebih dahulu ke kantor PT. ABT di Kota Tebo, di mana kami berkenalan dengan koordinator HHBK (hasil hutan bukan kayu), Pak Lutfhie dan stafnya, Bu Lisha.
Perjalanan menuju lokasi panen madu Bukit Tigapuluh dari kantor PT. ABT memakan waktu hampir 4 jam, melintasi perkebunan kelapa sawit dan karet milik perusahaan swasta. Jalan yang kami lewati adalah jalan tanah liat (tidak beraspal) dengan kondisi jalan bergelombang. Beruntung sekali saat kami ke sana cuaca cerah dan tidak hujan. Seandainya hujan, pasti perjalanan akan tambah panjang karena jalan akan licin.
Setibanya kami di lokasi panen madu hutan, difasilitasi oleh Pak Luthfie dan Bu Lisha dari PT. ABT, kami beruntung bisa dipertemukan dengan Usman, Ade dan Sumarji, anggota kelompok tani madu hutan di lahan tempat mereka panen madu.
Pasti perjalanan yang melelahkan, tetapi sekaligus menyenangkan bisa bertemu pemanen madu ya, Pak Umar? Apa yang mereka ceritakan?
Ya, betul, melelahkan. Tetapi kesempatan berbincang-bincang dengan para juaro – sebutan bagi pemanen madu di Tebo – benar-benar menarik dan berkesan. Saya berbagi sedikit ya tentang percakapan kami dengan mereka.
Talasi : Kegiatan panen madu jam berapa di mulainya ?
Juaro : Pagi hari sekitar jam 8.00 harus sudah dilahan.
Talasi : Sudah berapa lama menjadi juaro (pemanjat pohon sialang)?
Juaro : Sudah 4 – 5 tahun, belajar dari orang tua.
Talasi : Apakah ada penghasilan selain madu ?
Juaro : Berkebun sawit dan karet.
Talasi : Alat alat apa saja yang diperlukan saat panen madu hutan ?
Juaro : Baju lebah, pisau/parang, tali tambang, dan ember.
Talasi : Berapa tinggi pohon yang dipanjat ?
Juaro : Sekitar 30 – 40 meter.
Talasi : Apakah ada ritual khusus sebelum panen?
Juaro : Ada, nama ritualnya adalah “Tua Batang”. Ritual ini wajib dilakukan, agar diizinkan oleh “si penunggu pohon” (yang mereka yakini ada) untuk memanjat dan memanen sarang lebah di pohon sialang. Juga agar diberi keselamatan, kesehatan, kelancaran serta panen yg banyak.
Talasi : Bisa ceritakan cara melakukan panen madu hutan?
Juaro : Panen dilakukan dipagi hari. Para juaro memakai pakaian lebah agar tidak disengat lebah, lalu memanjat pohon sialang yang sudah diberi pijakan yang kuat sambil membawa tali tambang dan ember untuk menyimpan madu setelah dipanen di atas pohon sialang. Panen yg dilakukan adalah panen lestari. Tidak semua sarang lebah dipanen, hanya yg mengadung madu saja, agar panen selanjutnya rotasi panen lebih cepat. Rata-rata panen madu hutan selesai sekitar pukul 16.00.
Talasi : Apakah masih berjumpa dengan hewan liar buas ?
Juaro : Ada, hewan buas dan liar yg dijumpai adalah gajah dan harimau.
Ada satu cerita tentang saat mereka panen dimalam hari. Waktu sedang panen, mereka melihat dan mendengar suara harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae). Bahkan harimau itu sampai memanjat pohon sialang dengan menancapkan cakar kaki di batang pohon sialang. Tetapi, para juaro paham bahwa si harimau hanya meminta madu. Jadi mereka berikan madu hutan yang dipanen dengan melemparnya dari atas pohon sialang. Dan, setelah mendapatkan madu, harimau itu pergi.
Luar biasa ceritanya. Kedekatan para juaro ini dengan alam sangat kuat. Dan peran mereka juga besar dalam melestarikan dan melindungi alam. Tidak saja madu dipanen secara berkelanjutan, tetapi juga menjaga hubungan dengan satwa liar seperti harimau yang terancam punah di sana.
Benar. Sangat mengesankan. Mereka punya praktek-praktek yang penting dikagumi, diceritakan, dan ditiru.
Saat panen madu, mereka melakukan panen lestari atau sustainable harvesting. Sarang lebah yang mengandung madu saja yang dipanen, walaupun demikian sarang yang mengandung madu tersebut tetap di sisakan sekitar 1/4 bagian yang berguna sebagai pakan anak lebah. sistem panen lestari ini akan menjaga keberlanjutan populasi koloni lebah hutan yang akan membangun kembali sarang-sarang untuk di isi madu kembali, sekitar 3-4 minggu. Dengan demikian para pemanjat pohon sarang lebah hutan dapat memanen madu hutan kembali pada lokasi yang sama dengan waktu yang relatif singkat.
Setelah panen madu mereka melakukan post harvesting practices untuk menjaga kebersihan dan keamanan bahan makanan (food safety practices). Wadah plastik dan ember harus bersih, pisau harus anti karet, saringan harus bersih, sarang lebah tidak boleh diperas, penyimpanan madu harus aman dan dijauhkan dari bahan kimia, seperti obat nyamuk bakar, bensin, dan lain-lain.
Mereka juga melakukan perbanyakan pakan lebah dengan menanam pohon hutan dan buah-buahan. Mereka juga menjaga kelestarian lingkungan dengan menciptakan habitat baru buat satwa liar, mempertahankan dan meningkatkan populasi dan produksi madu hutan di masa mendatang dengan begitu menambah pemasukan atau income petani madu hutan.
Terima kasih banyak sudah berbagi cerita, Pak Umar. Rasanya seperti ikut ke sana mendengar semua yang diceritakan. Masih ada kesan yang ingin diceritakan?
Saya benar-benar kagum dan mengapresiasi para pemanen madu hutan, para juaro. Mereka mengambil resiko tinggi untuk memanen madu, memanjat pohon sialang setinggi 30 sampai 40 meter, tanpa pengaman! Mereka melakukannya dengan tetap mengikuti tradisi dan ajaran yang sudah turun-temurun, sambil menjaga keberlanjutan lebah dan keberlanjutan hidup mereka sendiri.
Hidup mereka sederhana, ada yang masih tinggal di rumah semi permanen yang sebagian kayu dan sebagian tembok. Dan ketika berkebun ada kalanya berhadapan dengan satwa liar, seperti gajah dan harimau.
Namun ditengah semua kesibukan keseharian mereka itu, saat Tim Talasi datang mereka menyambut dan bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai. Bahkan kami disuguhkan buah-buahan yang langsung diambil dari hutan, duku, rambutan, serta durian untuk disantap. Kami belajar banyak dari mereka.
Demikian tadi cerita Pak Umar dari Tim Talasi tentang perjalanannya ke lokasi panen madu sumber Watu Honey Bukit Tigapuluh. Semoga semakin memperkaya rasa madu Watu Honey Bukit Tigapuluh saat Anda menikmatinya!